Kala malam semakin gulita dan membentang selimut kantuk dipangkuan bumi. Aku tercenung dengan seribu gambaran dipelupukku, sesekali bibir bergerak-gerak berdesis pelan.
Sebenarnya aku tidak rela kehilangan teman. Begitu aku sadari semakin lama ku temukan kejernihan fajar surgawi dibalik riuh rendahnya suara-suara kami dalam rengkuhan hari-hari nan panjang. Berapa banyak waktu yang kujalani bersama sahabat-sahabatku dalam perkiraan asa dan harapan yang sering kali aku bersungguh-sungguh menyesali kebodohannya, kealpaannya sampai aku menyadari bahwa akulah Sifiran dan Sibijak arif itu adalah temanku.