21 Januari 2012

Pemulung yang Berakal Budiman (Part 1)

Catatan ini terlintas di benakku ketika melihat botol-botol bekas wadah minuman berserakan di depan dan di dalam kelas. Di taman aku juga melihat papan pengumuman yang telah lama ditumbuhi lumut gambut “Jagalah Kebersihan”. Di dalam kelas aku juga masih dapat membaca catatan yang penuh coretan boardmarker “Kebersihan sebagian dari Iman”, tak tahu hadits ini dhaif atau tidak. Selama ini aku cuma biasa berfikir, apa sebenarnya definisi dari kebersihan, kotoran dan iman? Selama ini pula aku tak berusaha mendefinisikan semua kata – kata tersebut, yang aku tahu adalah definisi–definisi yang mereka katakana kepadaku. Kadang aku tertawa sendirian, aku sudah menjadi mahasiswa tetapi tak tahu definisi dari setiap kata yang begitu sering kugunakan untuk membuat kalimat-kalimat di beberapa makalah.

Dalam catatan ini, aku berusaha mendefinisikan kata-kata tersebut menurut dengan kemampuanku dengan bantuan Kamus Besar Bahasa Indonesia. Setahuku kata kebersihan berasal dari kata dasar bersih yang berarti bebas dari kotoran. Sedangkan kotoran merupakan salah satu benda atau hal yang tidak disukai oleh manusia. Kotoran juga dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang tidak nyaman untuk dilihat. Jadi bila mata anda buta atau hilang sebelah, anda tak berhak memiliki definisi yang kedua. 
Berarti kata kebersihan adalah kata bersih yang berimbuhan ke-an, yaitu imbuhan yang menyebabkan pengertian suatu kata menjadi kata benda abstrak jika disisipi kata sifat. Sehingga kata kebersihan adalah suatu kata benda yang abstrak, suatu hal yang berhubungan dengan keadaan bersih. Anda tidak mampu mencerna penjelasan ini karena membingungkan?

Sedangkan kata Iman (definisi Indonesia) berarti keyakinan pada suatu hal yang berhubungan dengan agama. Iman kepada Allah berarti meyakini keberadaan-Nya dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya. Dari definisi-definisi di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa definisi dari kalimat “Kebersihan sebagian dari Iman” yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan bersih atau bebas dari kotoran merupakan indikasi lingkungan tersebut telah ber-iman atau meyakini keberadaan Allah SWT dengan segala sesuatu yang dimanifestasikan dengan semua hal yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah Yang Maha Bersih. Anda tidak mau mengerti dengan definisi ini, berarti anda tidak berhak mengaku sebagai mahasiswa? Walaupun aku juga tidak paham.

Dari definisi yang agak membingungkan ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa jika kita tidak peduli dengan kebersihan berarti kita juga tidak peduli dengan keberadaan Allah SWT. Jika kita membiarkan kotoran berserakan dimana-mana berarti kita juga membiarkan iman kita bernilai C –. Bila anda menganggap Hadist yang saya ambil itu dhaif, maka anda harus memberi tahu kepadaku apa itu hakikat dari definisi kebersihan dan apa manifestasi darinya.

Setelah aku berusaha mendefinisikan hal-hal ini semauku, yang ada dalam otakku hanya ada kalimat “Aku Malu jadi Mahasiswa Tadris IPA – Biologi di IAIN”. Jika aku dapat tetap hidup tanpa mukaku, aku ingin membuangnya di tempat sampah yang baru berumur 3 hari namun sudah terlihat berumur uzhur. Aku malu kepada Tuhanku karena selama ini aku tidak tahu, jika aku tak beriman kepada-Nya. Aku tak mempedulikan keberadaan-Nya dan aku juga malu menjadi bagian dari kaum intelektual yang dikenal dengan pengetahuannya. Ternyata aku tak lebih tahu dari pemulung yang datang pagi-pagi sekali di kampus, jika kebersihan adalah bagian dari Iman. Astaghfirullahhal ‘adzim, aku hanya tahu tetapi belum mampu memanifes-tasikan semua darinya. (mode dramatisir, munafik).

Pada suatu hari aku berangkat ke kampus pagi-pagi sekali karena tuntutan mata kuliah dengan keadaan mata yang masih merah. Ketika itu juga aku melihat wajah kusam Bapakku di balik senyuman plastik hitam sisa wadah jajanan beberapa mahasiswa. Wajah kusam seorang tua renta yang tetap kuat bekerja demi membiayai kuliah anaknya. Bapakku adalah sosok lelaki perkasa yang pernah kukenal dalam hidupku. Aku, seorang mahasiswa, manusia yang hidup di kalangan masyarakat yang mengaku “ber-intelektualitas tinggi”, melihat wajah bapakku yang “ber-intelektualitas rendahan” menempel di plastik hitam di salah satu pojok kelas, di tembok WC yang bau dan di halaman parkir samping gedung baru. 
Dalam hati, aku bangga melihat wajahnya menempel di sana, menyaksikan kegiatan akademik mahasiswa-mahasiswa yang tak mau mengenal nasibnya. Menyaksikan mahasiswa paling rajin karena tuntutan mata kuliah, bukan karena kesadaran. Aku menengadah ke langit dan berkata dalam hati, “itulah wajah bapakku”. Dari dua minggu yang lalu tetap menempel pada plastik hitam di pojok kelas.

Dalam sayup-sayup lamunanku, aku mendengar suaranya “tidakkah kau ingin mengikuti jejakku sebagai pemulung yang berakal lagi budiman?”. Aku hanya diam membisu, apa sebenarnya maksud dari kalimat itu, bukankah kalimat tersebut berbanding terbalik dengan harapannya yang menginginkan aku tak bernasib sepertinya, menjadi pemulung di jalanan, di tempat sampah pinggir kota yang kotor dan menjijikan.
Aku ini mahasiswa, sangatlah memalukan jika menjadi pemulung. Pekerjaanku itu adalah memegang pena, mengukir kata-kata bermakna tinggi yang menjulang ke langit. Bukankah pemulung itu pekerjaannya selalu berjongkok, menundukkan badannya di depan tempat sampah sembari memilah-milah rongsokan yang masih dapat dimanfaatkan. Sedangkan aku ini mahasiswa, yang harus selalu berpandangan luas ke arah depan dengan membuka mulut lebar-lebar sambil mendendangkan kata-kata yang sangat dalam maknanya, “Hai para petinggi, sadarlah kau dari apa kau diciptakan!”
=================================================================
Bersambung,,,,,,,,

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © CATATAN HARIAN ABI Design by Free CSS Templates | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger